Kamis, 25 Februari 2010

PENANGKAPAN, PENAHANAN, PENGGELEDAHAN BADAN DLL.

BAB 8

PENANGKAPAN, PENAHANAN,
PENGGELEDAHAN BADAN,
PEMASUKAN RUMAH, PENYITAAN
PEMERIKSAAN SURAT.


Masalah penangkapan, penahanan, penggeledahan badan maupun rumah serta pemeriksaan surat merupakan hak dasar atau hak asasi manusia yang dampaknya sangat luas bagi kehidupan yang bersangkutan maupun keluarganya.

Untuk mencegah terulangnya masa-masa ketika HIR masih diberlakukan, maka kemudian masalah-masalah tersebut kemudian diatur di dalam KUHAP yang dijadikan dasar atau pedoman terutama kepolisian dalam melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan badan maupun ru-mah serta pemeriksaan surat, sekaligus melindungi harkat dan martabat manusia sehingga baik pada orang yang terkena perkara pidana maupun tidak terkena perkara pidana dapat mengetahui dengan jelas tentang hak-haknya.

Penangkapan adalah :
- suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa,
- apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan. (Pasal 1 ayat (20).

Terdapat dua macam penangkapan :
1. Tertangkap tangan, dan
2. Penangkapan dalam keadaan tidak tengah melakukan tindak pidana.

Tertangkap tangan adalah :
- tertangkapnya seorang pada waktu sedang melakukan tindakan pidana,
- atau dengan segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan,
- atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya,
- atau apabila sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana itu yang menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya,
- atau turut melakukan atau membantu melakukan tindak pidana. (Pasal 1 ayat (19)

1. Dalam hal tertangkap tangan :
- penangkapan dilakukan tanpa surat perintah,
- dengan ketentuan bahwa penangkap harus segera menyerahkan tertangkap beserta barang bukti yang ada kepada penyidik atau penyidik pembantu terdekat.(Pasal 18 ayat (2).

- penangkapan dapat dilakukan paling lama 1 hari.
(Pasal 19 ayat (1).

- terhadap tersangka pelaku pelanggaran tidak diadakan penangkapan,
- kecuali dalam hal dipanggil secara sah 2 kali berturut-turut tidak memenuhi panggilan itu tanpa alasan yang sah. (Pasal 19 ayat (2)).

2. Penangkapan, “dalam keadaan tidak sedang melakukan tindak pidana” adalah :
- penangkapan yang dilakukan oleh penyidik,
- atas tersangka yang tidak sedang melakukan tindak pidana.

Berbeda dengan penangkapan tertangkap tangan karena penangkapan dalam keadaan “tidak tertangkap tangan” harus memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan oleh undang-undang sebagai berikut :

1. Penangkapan oleh penyidik.
- perintah penangkapan dilakukan,
- terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup.(Pasal 17).

Pasal ini menunjukkan bahwa perintah penangkapan tidak dapat dilakukan dengan sewenang-wenang, tetapi ditujukan kepada mereka yang benar-benar melakukan tindak pidana.

Bukti permulaan yang cukup :
- ialah bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana,
- karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.

Pelaksanaan tugas penangkapan :
- dilakukan oleh petugas kepolisian Negara Republik Indonesia,
- dengan memperlihatkan surat tugas,
- serta memberikan kepada tersangka surat perintah penangkapan
- yang dicantumkan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan serta tempat ia diperiksa.
(Pasal 18).

Surat perintah penangkapan dikeluarkan :
- oleh pejabat kepolisian Negara Republik Indonesia
- yang berwenang dalam melakukan penyidikan di daerah hukumnya.

Tembusan surat perintah penangkapan :
- harus diberikan kepada keluarganya
- segera setelah penangkapan dilakukan.
(Pasal 18 ayat (3).

Penangkapan oleh penyidik dapat dilakukan paling lama 1 hari. (Pasal 19 ayat (1).

2. Penahanan.
Pengertian penahanan menurut KUHAP, tersebut dalam Bab. 1 tentang ketentuan umum adalah sebagai berikut :

Penahanan adalah :
- penempatan tersangka atau terdakwa,
- ditempat tertentu oleh penyidik, atau penuntut umum
- atau hakim dengan penetapannya. Pasal 1 ayat 21.

Ketika HIR diberlakukan sebagai pedoman atau aturan dalam menangani penahanan, maka kepolisian sangat tidak terbatas wewenangnya khususnya dalam tindak penahanan dalam perkara pidana.

Kepolisian tidak dibatasi maksimal masa penahanan atas orang yang terkena perkara pidana dan tidak ada instansi luar yang mengawasi tindakan-tindakan kepolisian tersebut khususnya dalam hal penahanan.

Banyak orang ditahan dalam perkara pidana yang masa tahanannya jauh melebihi masa hukuman, hal demikian dapat terjadi pada orang yang tidak melakukan tindak pidana, karena itu agar peristiwa-peristiwa ketika masa berlakunya HIR tidak terulang kembali untuk itu KUHAP mengaturnya, sebagai berikut :

2. 1. Penahanan oleh penyidik :
- hanya berlaku paling lama 20 hari, dan
- dapat diperpanjang oleh penuntut umum dengan alasan,
- diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai,
- paling lama 40 hari sehingga jumlah seluruh masa tahanan oleh penyidik lamanya 60 hari. (Pasal 24 ayat (1, 2)

Setiap perpajangan penahanan hanya dapat diberikan oleh pejabat yang berwenang untuk itu atas dasar alasan dan resume hasil pemeriksaan yang diajukan kepadanya.

Ketentuan masa penahanan meskipun belum habis :
- tidak menutup kemungkinan dikeluarkan tersangka dari tahanan,
- sebelum berakhir waktu penahanan tersebut,
- jika kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi. (Pasal 24 ayat (3).

Setelah lewat 60 hari.
- penyidik tidak mempunyai wewenang lagi untuk melakukan penahanan,
- dalam arti lain tersangka harus dibebaskan dari status tahanan penyidik demi hukum. (Pasal 24 ayat (4).

Penyidik, penuntut umum dan hakim pengadilan negeri, pengadilan tinggi, Mahkamah Agung dan Ketua Mahkamah Agung masing-masing mempunyai wewenang untuk melakukan penahanan yang sesuai dengan tahapan pemeriksaan. (Pasal 20 ayat (1, 2, 3).

Penahanan lanjutan.
- merupakan wewenang penuntut umum, pengadilan negeri, pengadilan tinggi, Mahkamah Agung, dan Ketua Mahkamah Agung,
- dan penyidik tidak mempunyai wewenang untuk melakukan penahanan lanjutan.

Perintah penahanan atau penahanan lanjutan.
- dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa,
- yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup,
- dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran,
- bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindakan pidana. (Pasal 21 ayat (1).

Penahanan atau penahanan lanjutan.
- dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum,
- terhadap tersangka atau terdakwa dengan memberikan surat perintah penahanan atau penetapan hakim.
- yang mencantumkan identitas tersangka atau terdakwa, dan
- menyebutkan alasan penahanan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan atau didakwakan serta tempat ia ditahan. (Pasal 21 ayat (2).

Tembusan surat perintah penahanan atau penahanan lanjutan atau penetapan hakim harus diberikan kepada keluarganya. (Pasal 21 ayat (3).

Menurut Pasal 21 ayat (4) huruf a-b, penahanan tersebut hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan mau-pun pemberian dalam tindak pidana tersebut dalam hal :

a. tindak pidana itu diancam dengan penjara lima tahun lebih.
b. Tindak pidana sebagaimana yang dimaksud dalam :
Pasal 282 ayat (3), Pasal 296, Pasal 335 ayat (1), Pa-sal 351 ayat (1), Pasal 353 ayat (1), Pasal 372, Pasal 378, Pasal 379 a, Pasal 453, Pasal 454, Pasal 455, Pasal 459, Pasal 480 dan Pasal 506 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Pasal 25 dan Pasal 26 Rechtenordonnantie (pelanggaran terhadap ordonansi Bea dan Cukai, terakhir diubah dengan Staatblad Tahun 1931 No. 471).

Pasal 1, Pasal 2 dan Pasal 4 Undang-Undang Tindak pidana Imigrasi (UU No. 8 Drt. Tahun 1955, Lembaran Negara Tahun 1955 No. 8).

Pasal 36 ayat (17), Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 47 dan Pasal 48 UU No. 9 Tahun 1976 tentang Narkotika (Lembaran Negara Tahun 1976 No. 37, Tambahan Lembaran Negara No. 3086).

Jenis penahanan dapat berupa :
a. penahanan rumah tahanan negara;
b. penahanan rumah;
c. penahanan kota.

Penahanan rumah;
- dilaksanakan di kota tempat tinggal atau rumah kedi- aman tersangka atau terdakwa,
- dengan mengadakan pengawasan terhadapnya untuk menghindarkan segala sesuatu yang dapat menimbul -kan kesulitan dalam penyidikan, penuntutan atau pemeriksaan di sidang pengadil-an. (Pasal 22 ayat (2).

Penahanan kota :
- dilaksanakan di kota tempat tinggal atau tempat kediaman tersangka atau terdakwa,
- dengan kewajiban bagi tersangka atau terdakwa melapor diri pada waktu yang ditentukan. (Pasal 22 ayat (3).

Tersangka atau terdakwa hanya boleh ke luar rumah,
atau kota dengan ijin dari penyidik, penuntut umum atau hakim yang memberi perintah penahanan.

Masa penangkapan dan atau penahanan dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan. (Pasal 22 ayat (4).

Untuk penahanan kota pengurangan tersebut 1/5 dari jumlah lamanya waktu penahanan sedangkan untuk pena- hanan rumah 1/3 dari jumlah lamanya waktu penahanan. (Pasal 22 ayat (5).

Selama belum ada rumah tahanan negara di tempat yANg bersangkutan, penahanan dapat dilakukan di kantor kepolisian negara, di kantor kejaksaan negeri, di lembaga pema-syarakatan, di rumah sakit dan dalam keadaan yang memaksa di tempat lain.


2.2. Penahanan oleh penuntut umum.

Masa penahanan penuntut umum ;
- hanya berlaku paling lama 20 hari, dan
- apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai,
- dapat diperpanjang oleh ketua pengadilan negeri yang berwenang untuk paling lama 30 hari. (Pasal 25 ayat (1,2).

Setelah waktu 50 hari;
- penuntut umum sudah harus mengeluarkan tersangka dari tahanan demi hukum. (Pasal 25 ayat (4).

Ketentuan tersebut tidak menutup kemungkinan;
- dikeluarkannya tersangka dari tahanan
- sebelum berakhir waktu penahanan tersebut,
- jika kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi. (Pasal 25 ayat (3).

2. 3. Penahanan oleh hakim pengadilan negeri.

Hakim pengadilan negeri yang mengadili perkara ;
- berwenang mengeluarkan surat perintah penahanan,
- untuk paling lama 30 hari dan dapat diperpanjang oleh ketua pengadilan negeri yang bersangkutan,
- paling lama 60 hari, sehingga jumlah seluruh masa penahanan paling lama 90 hari. (Pasal 26 ayat (1,2).

Ketentuan masa penahanan meskipun belum habis;
- tidak menutup kemungkinan dikeluarkan terdakwa, dari tahanan,
- sebelum berakhir waktu penahanan tersebut, jika kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi. (Pasal 26 ayat 3).

Setelah lewat 90 hari ;
- Hakim pengadilan negeri yang mengadili perkara
- tidak mempunyai wewenang lagi untuk melakukan penahanan
- dalam arti lain terdakwa harus dibebaskan dari status tahanan hakim pengadilan negeri yang mengadili perkara demi hukum. (Pasal 26 ayat (4).

2. 4. Penahanan oleh hakim Pengadilan Tinggi. :

Hakim pengadilan tinggi yang mengadili perkara banding;
- berwenang mengeluarkan surat perintah penahanan
- untuk paling lama 30 hari dan
- dapat diperpanjang oleh ketua pengadilan tinggi yang bersangkutan
- paling lama 60 hari, sehingga
- jumlah seluruh masa penahanan paling lama 90 hari. (Pasal 27 ayat (1, 2).

Ketentuan masa penahanan;
- meskipun belum habis,
- tidak menutup kemungkinan dikeluarkan terdakwa dari tahanan,
- sebelum berakhir waktu penahanan tersebut,
- jika kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi. (Pasal 27 ayat (3)

Setelah lewat 90 hari;
Hakim pengadilan tinggi yang mengadili perkara banding,
- tidak mempunyai wewenang lagi untuk melakukan penahanan,
- dalam arti lain terdakwa harus dibebaskan dari status tahanan hakim pengadilan tinggi yang mengadili perkara banding demi hukum. (Pasal 27 ayat (4).


2. 5. Penahanan oleh hakim Mahkamah Agung. :

Hakim Mahkamah Agung yang mengadili perkara kasasi;
- berwenang mengeluarkan surat perintah penahanan,
- untuk paling lama 50 hari, dan
- dapat diperpanjang oleh ketua Mahkamah Agung,
- paling lama 60 hari, sehingga
- jumlah seluruh masa penahanan paling lama 110 hari. (Pasal 28 ayat (1, 2).

Ketentuan masa penahanan meskipun belum habis;
- tidak menutup kemungkinan,
- dikeluarkan terdakwa dari tahanan,
- sebelum berakhir waktu penahanan tersebut,
- jika kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi.(Pasal 28 ayat (3).

Setelah lewat 110 hari;
- Hakim Mahkamah Agung yang mengadili perkara kasasi
- tidak mempunyai wewenang lagi untuk melakukan penahanan
- dalam arti lain terdakwa harus dibebaskan dari status tahanan hakim Mahkamah Agung yang mengadili perkara kasasi demi hukum. (Pasal 28 ayat (4).

Setiap perpajangan penahanan hanya dapat diberikan oleh pejabat yang berwenang untuk itu atas dasar alasan dan resume hasil pemeriksaan yang diajukan kepadanya.


2.6. Pengecualian waktu penahanan, Pasal 29 ayat (1 s/d 7) .

Dikecualikan dari jangka waktu penahanan sebagaimana tersebut Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28, guna kepentingan pemeriksaan, penahanan terhadap tersangka atau terdakwa dapat diperpanjang berdasarkan alasan yang patut dan tidak dapat dihindarkan karena :

a. tersangka atau terdakwa menderita gangguan fisik atau mental yang berat, yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter, atau
b. perkara yang sedang diperiksa diancam dengan pidana penjara sembilan tahun lebih.

Perpanjangan penahanan tersebut.
- diberikan untuk paling lama 30 hari, dan
- dalam hal penahanan tersebut masih diperlukan,
- dapat diperpanjang lagi untuk paling lama 30 hari. (Pasal 19 ayat (2).

Pasal 29 ayat 3, perpanjangan penahanan tersebut atas dasar permintaan dan laporan pemeriksaan dalam tingkat :

a. penyidikan dan penuntutan diberikan oleh ketua pengadilan negeri.
b. Pemeriksaan di pengadilan negeri diberikan oleh ketua pengadilan tinggi.
c. Pemeriksaan banding diberikan oleh Mahkamah Agung.
d. Pemeriksaan kasasi diberikan oleh Ketua Mahkamah Agung.

Setelah waktu 60 hari;
- walaupun perkara belum selesai diperiksa,
- atau belum putus, tersangka atau terdakwa harus sudah dikeluarkan dari tahanan demi hukum. (Pasal 29 ayat (6).

Pasal 29 ayat (7) Terhadap perpanjangan penahanan tersebut pada Pasal 29 ayat (2), tersangka atau terdakwa dapat mengajukan keberatan dalam tingkat :

a. penyidikan dan penuntutan kepada ketua pengadilan tinggi;
b. pemeriksaan pengadilan negeri dan pemeriksaan banding kepada Ketua Mahkamah Agung.

Kepentingan pemeriksaan.
Yang dimaksud dengan “kepentingan pemeriksaan” ialah pemeriksaan yang belum dapat diselesaikan dalam waktu penahanan yang ditentukan.

Jumlah seluruh masa penahanan :
a. 200 hari mulai dari penyidik sampai dengan pengadilan negeri.
b. 200 hari pada pemeriksaan banding (pengadilan tinggi) dan kasasi (Mahkamah Agung).
c. 400 hari seluruh jumlah masa penahanan mulai dari penyidik sampai dengan Mahkamah Agung.

Terhadap perpanjangan penahanan, tersangka atau terdakwa dapat mengajukan keberatan dalam tingkat :

a. penyidikan dan penuntutan kepada ketua pengadilan tinggi;
b. pemeriksaan pengadilan negeri dan pemeriksaan banding kepada Ketua Mahkamah Agung.

Apabila tenggang waktu penahanan atau perpanjangan penahanan ternyata tidak sah, tersangka atau terdakwa berhak minta ganti kerugian. (Pasal 30).

Terhadap perpanjangan penahanan dalam tingkat pemeriksaan kasasi, tidak dapat diajukan keberatan karena Mahkamah Agung merupakan peradilan tingkat akhir dan yang melakukan pengawasan tertinggi terhadap perbuatan pengadilan lain.

Atas permintaan tersangka atau terdakwa, penyidik atau penuntut umum atau hakim, sesuai dengan kewenangan masing-masing, dapat mengadakan penangguhan penahanan dengan atau tanpa jaminan uang atau jaminan orang, berdasarkan syarat yang ditentukan. (Pasal 31 ayat (1).

Karena jabatannya penyidik atau penuntut umum atau hakim sewaktu-waktu dapat mencabut penangguhan penahanan dalam hal tersangka atau terdakwa melanggar syarat sebagaimana yang telah ditentukan. (Pasal 31 ayat (2).

Yang dimaksud dengan “syarat yang ditentukan” ialah wajib lapor, tidak ke luar rumah atau kota, dan masa penangguhan penahanan dari seorang tersangka atau terdakwa tidak termasuk masa status tahanan.

3. Penggeledahan.
- untuk kepentingan penyidikan,
- penyidik dapat melakukan penggeledahan rumah atau penggeledahan pakaian atau penggeledahan badan. (Pasal 32).

Dengan ijin ketua pengadilan negeri setempat,
- penyidik dalam melakukan penyidikan dapat mengadakan penggeledahan rumah yang diperlukan. (Pasal 32 ayat (1).

Penyidik untuk melakukan penggeledahan rumah harus ada surat ijin dari ketua pengadilan negeri guna menjamin hak asasi seorang atas rumah kediamannya.

Dalam hal yang diperlukan atas perintah tertulis dari
penyidik, petugas kepolisian negara Republik Indonesia dapat memasuki rumah. (Pasal 32 ayat (2).

Jika yang melakukan penggeledahan rumah bukan penyidik sendiri;
petugas kepolisian lainnya harus dapat menunjukkan selain surat ijin ketua pengadilan negeri juga surat perintah tertulis dari penyidik.

Penyidik setiap kali memasuki rumah yang disetujui,
- harus disaksikan oleh dua orang saksi dalam hal tersangka atau penghuni rumah menyetujui. (Pasal 32 ayat (3).

Penyidik setiap kali memasuki rumah yang tidak disetujui,
- harus disaksikan oleh kepala desa atau ketua lingkungan dengan dua orang saksi, dalam hal tersangka atau penghuni menolak atau tidak hadir. (Pasal 33 ayat (4).
- yang dimaksud dengan “dua orang saksi” adalah warga dari lingkungan yang bersangkutan.
- yang dimaksud dengan “ketua lingkungan” adalah ketua atau wakil ketua rukun kampong, ketua atau wakil ketua rukun tetangga, ketua atau wakil ketua rukun warga, ketua atau wakil ketua lembaga yang sederajat.

Dalam waktu 2 hari setelah memasuki dan atau menggeledah rumah,
- harus dibuat suatu berita acara dan turunannya disampaikan kepada pemilik atau penghuni rumah yang bersangkutan. (Pasal 33 ayat (5).

Pasal 34 dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat ijin terlebih dahulu dengan tidak mengurangi ketentuan dalam Pasal 33 ayat (5) penyidik dapat melakukan penggeledahan :

a. pada halaman rumah tersangka bertempat tinggal, berdiam atau ada dan yang ada di atasnya;
b. pada setiap tempat lain tersangka bertempat tinggal, berdiam atau ada;
c. ditempat tindak pidana dilakukan atau dapat bekasnya;
d. ditempat penginapan dan tempat umum lainnya.

Keadaan yang sangat perlu dan mendesak, ialah :
- bilamana ditempat yang akan digeledah diduga keras terdapat tersangka atau terdakwa,
- yang patut dikhawatirkan segera melarikan diri atau mengulangi tindak pidana atau benda yang dapat disita dikhawatirkan segera dimusnahkan atau dipindahkan sedangkan surat ijin dari ketua pengadilan negeri tidak mungkin diperoleh dengan cara yang layak dan dalam waktu singkat.

Larangan bagi Penyidik, penyidik tidak diperkenankan :
- memeriksa atau menyita surat, buku dan tulisan lain,
- yang tidak merupakan benda yang berhubungan dengan tindak pidana yang bersangkutan,
- kecuali benda yang berhubungan dengan tindak pidana yang bersangkutan,
- atau yang diduga telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana tersebut dan untuk itu wajib segera,
- melaporkan kepada ketua pengadilan negeri setempat guna memperoleh persetujuannya. (Pasal 34 ayat (2).

Kecuali dalam hal tertangkap tangan, penyidik tidak diperkenankan memasuki :
a. ruang dimana sedang berlangsung sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
b. tempat dimana sedang berlangsung ibadah dan atau upacara keagamaan;
c. ruang dimana sedang berlangsung sidang pengadilan. Pasal 35

Dalam hal penyidik harus melakukan penggeledahan rumah di luar daerah hukumnya, maka penggeledahan tersebut harus diketahui oleh ketua pengadilan negeri dan didampingi oleh penyidik dari daerah hukum dimana penggeledahan itu dilakukan. (Pasal 36).

Pada waktu menangkap tersangka :
- penyelidik hanya berwenang,
- menggeledah pakaian termasuk benda yang dibawanya,
- apabila terdapat dugaan keras dengan alasan yang cukup bahwa pada tersangka tersebut terdapat benda yang dapat disita. (Pasal 37 ayat (1).

Kewenangan penyidik :
- menggeledah pakaian dan atau menggeledah badan tersangka,
- yang ditangkap dan dibawa oleh penyelidik ke penyidik. (Pasal 37 ayat (2).

Penggeledahan badan meliputi pemeriksaan rongga badan, yang wanita dilakukan oleh pejabat wanita. Dalam hal penyidik berpendapat perlu dilakukan pemeriksaan rongga badan, penyidik minta bantuan kepada pejabat kesehatan.


4. Penyitaan.

Penyitaan hanya dapat dilakukan :
- oleh penyidik dengan surat ijin ketua pengadilan negeri setempat,
- dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk mendapat surat ijin terlebih dahulu,
- penyidik dapat melakukan penyitaan hanya atas benda bergerak dan untuk itu wajib segera melaporkan kepada ketua pengadilan negeri setempat guna memperoleh persetujuannya. (Pasal 38 ayat (1, 2).

Pasal 39 ayat (1), yang dapat dikenakan penyitaan adalah :
a. benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruhnya atau sebagaian diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana;
b. benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya;
c. benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana;
d. benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana;
e. benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan.

Pasal 39 ayat (2), benda yang berada dalam sitaan karena perkara perdata atau karena pailit dapat juga disita untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan mengadili perkara pidana, sepanjang memenuhi ketentuan ayat (1).

Dalam hal tertangkap tangan penyidik dapat menyita benda dan alat yang ternyata atau yang patut diduga telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana atau benda lain yang dapat dipakai sebagai barang bukti. (Pasal 40).

Dalam hal tertangkap tangan penyidik berwenang menyita paket atau surat atau benda yang pengangkutannya atau pengirimannya dilakukan oleh kantor pos dan telekomunikasi, jawatan atau perusahaan komunikasi atau pengangkutan, sepanjang paket, surat atau benda tersebut diperuntukkan bagi tersangka atau berasal dari padanya dan untuk itu kepada tersangka dan atau kepada pejabat kantor pos dan telekomunikasi, jawatan atau perusahaan komunikasi atau pengangkutan yang bersangkutan, harus diberikan surat tanda penerimaan. (Pasal 41).

Yang dimaksud “surat” termasuk surat kawat, surat teleks dan lain sejenisnya yang mengandung suatu berita.

Penyidik berwenang memerintahkan kepada orang yg menguasai benda yang dapat disita, menyerahkan benda tersebut kepadanya untuk kepentingan pemeriksaan dan kepada yang menyerahkan benda itu harus diberikan surat tanda penerimaan. (Pasal 42 ayat (1).

Surat atau tulisan lain hanya dapat diperintahkan untuk diserahkan kepada penyidik jika surat atau tulisan itu berasal dari tersangka atau terdakwa atau ditujukan kepadanya atau kepunyaannya atau diperuntukkan baginya atau jikalau benda tersebut merupakan alat untuk melakukan tindak pidana. (Pasal 42 ayat (2).

Pasal 45 ayat (1), dalam hal benda sitaan terdiri atas benda yang dapat lekas rusak atau yang membahayakan, sehingga tidak mungkin untuk disimpan sampai putusan pengadilan terhadap perkara yang bersangkutan memperoleh kekuatan hukum tetap atau jika biaya penyimpanan benda tersebut akan menjadi terlalu tinggi, sejauh mungkin dengan persetujuan tersangka atau kuasanya dapat diambil tindakan sebagai berikut :

a. apabila perkara masih ada ditangan penyidik atau penuntut umum, benda tersebut dapat dijual lelang atau dapat diamankan oleh penyidik atau penuntut umum, dengan disaksikan oleh tersangka atau kuasanya.
b. apabila perkara sudah ada ditangan pengadilan, maka benda tersebut dapat diamankan atau dijual lelang oleh penuntut umum atas ijin hakim yang menyidangkan perkaranya dan disaksikan oleh terdakwa atau kuasanya.

Benda yang dapat diamankan :
- antara lain ialah benda yang mudah terbakar, mudah meledak,
- untuk itu harus dijaga serta diberi tanda khusus atau benda yang dapat membahayakan kesehatan orang dan lingkungan.

Pelaksanaan lelang :
- dilakukan oleh kantor lelang negara,
- setelah diadakan konsultasi dengan pihak penyidik atau penuntut umum setempat atau hakim yang bersangkutan,
- sesuai dengan tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan dan lembaga yang ahli dalam menentukan sifat benda yang mudah rusak.

Hasil pelelangan benda yang bersangkutan yang berupa uang dipakai sebagai barang bukti. (Pasal 45 ayat (2).

Guna kepentingan pembuktian sedapat mungkin disisihkan sebagian kecil dari benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). (Pasal 45 ayat (3).

Benda untuk pembuktian yang menurut sifatnya lekas rusak dapat dijual lelang dan uang hasil pelelangan dipakai sebagai ganti untuk diajukan di sidang pengadilan, sedangkan sebagian kecil dari benda itu disisihkan untuk dijadikan barang bukti.

Benda sitaan yang bersifat terlarang atau dilarang untuk diedarkan, tidak termasuk ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dirampas untuk dipergunakan bagi kepentingan Negara atau dimusnahkan. (Pasal 45 ayat (4).

Benda yang dirampas untuk negara;
- ialah benda yang harus diserahkan kepada departemen yang bersangkutan,
- sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 46 ayat (1), benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka dari siapa benda itu disita, atau kepada orang atau kepada mereka yang paling berhak apabila :

a. kepentingan penyidikan dan penuntutan tidak memerlukan lagi;
b. perkara tersebut tidak jadi dituntut karena tidak cukup bukti atau ternyata tidak merupakan tindak pidana;
c. perkara tersebut dikesampingkan untuk kepentingan umum atau perkara tersebut ditutup demi hukum, kecuali apabila benda itu diperoleh dari suatu tindak pidana atau yang dipergunakan untuk melakukan suatu tindak pidana.

Benda yang dikenakan penyitaan diperlukan bagi pemeriksaan sebagai barang bukti. Selama pemeriksaan berlangsung, dapat diketahui benda itu masih diperlukan atau tidak.

Dalam hal penyidik atau penuntut umum berpendapat, benda yang disita itu tidak diperlukan lagi untuk pembuktian, maka benda tersebut dapat dikembalikan kepada yang berkepentingan atau pemiliknya.

Dalam pengembalian benda sitaan hendaknya sejauh mungkin diperhatikan segi kemanusiaan, dengan mengutamakan pengembalian benda yang menjadi sumber kehidupan.

Apabila perkara sudah diputus;
- benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka yang disebut dalam putusan tersebut,
- kecuali jika menurut putusan hakim benda itu dirampas untuk negara,
- untuk dimusnahkan atau untuk dirusakkan sampai tidak dapat dipergunakan lagi,
- atau jika benda tersebut masih diperlukan sebagai barang bukti dalam perkara lain. (Pasal 46 ayat (2).

5. Penyitaan surat.

Penyidik berhak :
- membuka, memeriksa dan menyita surat lain,
- yang dikirim melalui kantor pos dan telekomunikasi,
- jawatan atau perusahaan komunikasi, atau pengangkutan,
- jika benda tersebut dicurigai dengan alasan kuat,
- mempunyai hubungan dengan perkara yang sedang diperiksa,
- dengan ijin khusus yang diberikan untuk itu dari ketua pengadilan negeri.
(Pasal 47 ayat (1).

Surat lain :
- adalah surat yang tidak langsung,
- mempunyai hubungan dengan tindak pidana yang diperiksa,
- akan tetapi dicurigai dengan alasan yang kuat.

Untuk kepentingan tersebut penyidik dapat meminta kepada kepala kantor pos dan telekomunikasi, kepala jawatan atau perusahaan komunikasi dan pengangkutan lain untuk menyerahkan kepadanya surat yang dimaksud dan untuk itu harus diberikan surat tanda penerimaan. (Pasal 47 ayat (2).

Pasal 47 ayat (1, 2) dapat dilakukan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan menurut ketentuan yang diatur dalam ayat tersebut. (Pasal 47 ayat (3).

Apabila sesudah dibuka dan diperiksa, ternyata bahwa surat itu ada hubungannya dengan perkara yang sedang diperiksa, surat tersebut dilampirkan dalam berkas perkara. (Pasal 48 ayat (1).

Apabila sesudah diperiksa ternyata surat itu tidak ada hubungannya dengan perkara tersebut, surat itu ditutup rapi dan segera diserahkan kembali kepada kantor pos dan telekomunikasi, jawatan atau perusahaan komunikasi atau pengangkutan lain setelah dibubuhi “telah dibuka oleh penyidik” dengan dibubuhi tanggal, tanda tangan beserta identitas penyidik. (Pasal 48 ayat (2).

Penyidik dan para pejabat pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib merahasiakan dengan sungguh-sungguh atas kekuatan sumpah jabatan isi surat yang dikembalikan. (Pasal 48 ayat (3).

Penyidik membuat berita acara tentang tindakan yang dimaksud dalam Pasal 48 dan Pasal 75.

Turunan berita acara tersebut oleh penyidik dikirimkan kepada kepala kantor pos dan telekomunikasi, kepala jawatan atau perusahaan komunikasi atau pengangkutan yang bersangkutan.